Bagaimana Mengatasi Konflik Buruh vs Pengusaha dalam Masalah Outsourcing

Konflik antara buruh dan perusahaan sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baik, terutama dalam kaitannya dengan produksi barang sebuah perusahaan. Konflik hanya akan menghentikan kinerja produksi, yang pada gilirannya membuat sebuah perusahaan berhenti memproduksi barang dan produk – apapun – seperti yang selama ini telah diciptakan olehnya.

Meski sebuah konflik bisa terjadi di dalam sebuah perusahaan, antara petinggi/pemilik modal dengan buruh, namun kebanyakan kasus yang terjadi bersumber dari pemilik modal.

Kesalahan terutama muncul ketika pemilik modal menentukan kebijakan biaya hidup paling rendah yang wajar bagi buruh. Biaya tersebut umum disebut sebagai upah minimum, yang hitung-hitungannya bisa berbeda satu sama lain.

Dengan perhitungan upah minimum, berarti bahwa pemilik modal hanya membayarkan beberapa persen dari angka gaji yang sesungguhnya. Upah minimum artinya para buruh mendapatkan gaji paling rendah yang kemudian dipakai untuk mempertahankan hidup mereka.

Di sinilah letak masalahnya. Eksploitasi rawan terjadi, dan ini biasanya dilakukan oleh pemilik modal terhadap buruh mereka. Nilai lebih, yakni selisih yang dihasilkan dari keuntungan menjual barang-barang hasil produksi, yang seharusnya masuk ke dalam kantong buruh, tidak menjadi demikian adanya. Kondisi ketidak-adilan semacam itulah yang kemudian memunculkan sejumlah gagasan mengenai perlunya jaminan sosial bagi buruh, sistem pengupahan yang memperhatikan kebutuhan buruh, serta pembatasan waktu kerja.

Konflik antara pengusaha/pemilik modal dengan buruh barangkali merupakan konflik yang paling sering terjadi di Indonesia. Hampir tiap tahun pada 1 Mei, atau May Day, sebuah tuntutan utama seperti penghapusan outsourcing terus-menerus digemakan dari tahun ke tahun. Inilah kemudian yang menjadi sumber konflik yang kemudian membuat sejumlah perselisihan antara buruh dan pengusaha terkemuka. Bila tolak ukurnya adalah perbaikan nasib buruh, maka tuntutan tersebut menjadi wajar karena outsourcing selama ini dianggap sebagai biang keladi sekaligus sumber diskriminasi pemberian upah.

Seorang pekerja outsourcing bukanlah karyawan tetap, melainkan karyawan kontrak yang dibayar sesuai dengan sejumlah poin yang disetujui di dalam kontrak. Lebih jauh lagi, outsourcing sebetulnya merupakan mekanisme yang memindahkan operasi pekerjaan dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Contoh kecil, sebuah perusahaan akan menerapkan outsourcing untuk memenuhi kebutuhan akan pekerja cleaning service. Ini biasanya dilakukan guna menekan biaya produksi dan dengan demikian sebuah perusahaan bisa mengalihkan perhatiannya pada hal yang lebih penting.

Bagi para buruh, outsourcing menjadi biang kegelisahan. Sistem tersebut dianggap oleh para buruh sebagai diskriminasi pemberian hak atas kerja tetap non-kontrak, yang pada gilirannya dianggap pula sebagai hambatan dalam mencapai kesejahteraan. Singkat kata, bagi pemilik modal, sistem semacam itu membantu efisiensi produktivitas. Sementara bagi buruh, outsourcing adalah bencana.

Outsourcing sendiri sebetulnya telah diatur di dalam Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Secara garis besar diatur lima jenis pekerjaan yang boleh menggunakan tenaga kerja outsourcing¸yakni pemborongan pertambangan, catering, transportasi, keamanan, serta cleaning service. Jadi ada batasan-batasan tersendiri yang sudah diatur dalam UU Nomor 13 tahun 2003. Bila terjadi konflik antara buruh dan pemilik modal – yang disebabkan oleh outsourcing – maka hal yang perlu dilakukan adalah beberapa solusi penting:

1) Keterlibatan negara dalam konflik antara buruh dan pemilik modal sangat diperlukan, terutama guna menata peraturan serta regulasi untuk menekan masalah perburuhan.

Aspek pertama yang bisa dikelola adalah kontrak kerja antara pengusaha buruh. Kontrak kerja tidak hanya masalah besaran upah yang wajar dan manusiawi, melainkan juga terkait dengan besaran pesangon dan kepastian kerja serta kesempatan untuk menjadi sejahtera. Bila aspek ini bisa diselesaikan, maka pemilik modal dan buruh akan ditempatkan dalam posisi tawar yang wajar.

2) Solusi kedua adalah memperbaiki hubungan kontrak kerja antara pengusaha dan buruh. Sebuah kontrak kerja bisa menjadi sah dan manusiawi bagi buruh apabila mencantumkan ketentuan mengenai jumlah upah kerja, masa kerja, bentuk dan jenis pekerjaan, serta berapa banyak tenaga yang dicurahkan ketika buruh bekerja. Rincian terhadap keempat hal tersebut, yang kemudian disepakati antara buruh dan pengusaha, menjadi penting sebab menyangkut hak dan kewajiban buruh serta pengusaha.

3) Eksploitasi terhadap buruh bisa diminimalisir bila biaya kesehatan, ketercukupan papan, biaya pendidikan, dana pensiun, pangan terpenuhi, dan lain sebagainya, bisa terpenuhi dengan baik. Artinya kemudian, negara memberikan jaminan sosial dalam arti mengatur supaya para buruh tidak menanggung biaya keamanan, kesehatan, serta pendidikannya sendiri. Selain itu, regulasi harus diciptakan guna memudahkan setiap orang untuk mengakses sumber-sumber pekerjaan.

Bisa dilihat dari poin-poin di atas bahwa kehadiran negara menjadi sangat penting. Tidak hanya sebagai sumber yang mengatur regulasi tentang perburuhan, melainkan juga sebagai payung yang melindungi keberadaan buruh. Di dalam skema piramida ketenaga-kerjaan, buruh merupakan posisi yang paling rentan karena seringkali tidak memiliki daya tawar di depan pengusaha/pemilik modal. Di sinilah kemudian peran negara bisa hadir untuk membantu para buruh terpenuhi hak-haknya atas upah dengan cara yang manusiawi.

Konflik buruh dan pengusaha yang selama ini terjadi pada dasarnya menempatkan buruh sebagai kelas bawah yang tidak terlindungi dengan baik. Negara selalu memihak pengusaha ketika konflik terjadi, dan malah mengirim agen-agennya untuk “memukul” balik buruh dalam konflik yang memanas.

Tawaran yang seimbang, dengan tetap memperhatikan kelangsungan hidup perusahaan serta buruh, bisa dilakukan apabila peraturan negara tercipta untuk melindungi pekerja. Dengan demikian, peran serta negara dalam melindungi keberadaan serta hak-hak buruh menjadi sesuatu yang sangat penting guna meminimalisir konflik yang semakin sering terjadi antara buruh dan pengusaha.