Peraturan tentang PHK Karyawan yang Wajib Anda Ketahui Sebelum Kena PHK

Pekerja atau buruh dilindungi haknya untuk terhindar dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan sepihak oleh pemilik modal. Kalaupun PHK tidak bisa dihindari, maka perundingan wajib dilakukan antara pihak buruh/pekerja dengan pihak perusahaan. Bila jalan keluar tidak juga ditemukan, maka perusahaan boleh melakukan PHK dengan catatan sudah ditetapkan secara resmi oleh lembaga yang berwenang melakukan itu. Perlu diketahui bahwa perusahaan tidak boleh melakukan PHK atas dasar perbedaan pandangan atau bila seorang pekerja berhalangan kerja karena sakit.
Selain itu, seorang buruh/pekerja yang mendirikan serikat pekerja tidak boleh di-PHK.
Seorang pekerja yang berada dalam kondisi cacat tetap juga tidak boleh di-PHK. Pendek kata, ada banyak peraturan yang melindungi hak-hak karyawan dari pemutusan hubungan kerja sepihak. Namun sering ada kasus di mana PHK tidak bisa dihindari karena perusahaan melakukan efisiensi tertentu di mana pengurangan buruh/karyawan menjadi hal mutlak yang harus dilakukan.

Bila demikian yang terjadi, maka ada sejumlah ketentuan tentang jumlah uang pesangon yang diatur di dalam pasal 156 ayat 1 UU 13/2013 mengenai ketenagakerjaan. Di dalam ayat tersebut tertulis dengan jelas bahwa pengusaha diwajibkan membayar uang penghargaan atau uang pesangon kepada pekerja yang mengalami PHK. Selain pasal tersebut, ada lagi satu aturan yang memberikan payung hukum mengenai pemutusan hubungan kerja.

Peraturan tentang PHK tersebut tertulis di dalam pasal 61 UU 13/2003 , yang menyebut bahwa perjanjian kerja bisa berakhir bila kontrak kerja berakhir.

Kendati demikian, ada ketetapan hukum yang mengatur pemberhentian, ada keadaan khusus yang dicantumkan di dalam peraturan perusahaan, atau bila pekerja meninggal dunia. Di dalam pasal tersebut, pihak pengusaha wajib mengganti ganti rugi kepada pekerja yang mengalami PHK, yang besarannya ditentukan berdasarkan upah buruh/pekerja dan jangka waktu berakhirnya kontrak kerja.

Meskipun seorang pengusaha tidak boleh memutuskan hubungan kerja secara sepihak, namun perusahaan tetap bisa melakukan hal tersebut. UU no. 13/2003 menyebut bahwa pihak perusahaan bisa melakukan pemutusan hubungan kerja bila terdapat kondisi sebagai berikut:

1) Pekerja mengundurkan diri atas kesadaran sendiri. Bila demikian yang terjadi, maka sang pekerja berhak mendapatkan hak penggantian sebesar satu kali (ketentuan pasal 156 ayat 3) namun tidak berhak mendapatkan uang penghargaan masa kerja. Namun bila pekerja mengundurkan diri secara mendadak dengan tidak menghiraukan prosedur pengunduran diri, maka pekerja hanya berhak mendapatkan uang penggantian. Bila pengunduran diri sudah sesuai prosedur, maka pekerja bisa mendapatkan uang pisah yang besaran nilainya diatur berdasarkan kesepakatan tertentu.

2) Pengunduran diri karena kontrak kerja berakhir. Dalam kasus ini, pekerja tidak berhak mendapatkan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja (sesuai dengan pasal 154 ayat 2 dan pasal 156 ayat 3). Pekerja juga tidak berhak mendapatkan uang pisah apabila kontrak berakhir, namun berhak atas uang penggantian hak (sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal 156 ayat 4). [Baca: Apakah Outsourching Merupakan Pelanggaran? ]

3) Pengunduran diri dikarenakan usia pensiun. Kesepakatan pemutusan hubungan kerja ketika seorang pekerja memasuki masa pensiun biasanya diatur dalam perjanjian kerja bersama. Di Indonesia, pekerja bisa pensiun di usia 55 tahun dan berhak mendapatkan uang pesangon sebesar 2 kali gaji (menurut ketentuan pasal 156 ayat 2 UU no. 13 tahun 2003). Selain itu pekerja berhak mendapatkan sekali uang penghargaan meski tidak berhak memperoleh uang pisah.

4) Pekerja yang mangkir terus menerus bisa menerima PHK. Umumnya perusahaan bisa melakukan hal tersebut ketika pekerja tidak masuk selama 5 hari terus menerus tanpa disertai keterangan tertulis. Dalam kondisi ini, perusahaan harus memanggil pekerja secara patut dan dengan cara tertulis. Pekerja yang mangkir tetap mendapatkan uang pisah dan uang pengganti hak, yang besarannya tergantung peraturan perusahaan yang mengatur perjanjian kerja bersama.

5) Perusahaan mengalami kerugian dan pada akhirnya harus ditutup karena bangkrut. Jika demikian yang terjadi, maka PHK merupakan keputusan yang tidak bisa dihindari. Meski demikian, perusahaan mesti membuktikan kerugian yang ada dengan laporan keuangan yang telah diaudit oleh lembaga resmi atau akuntan publik. Selain itu perusahaan juga wajib memberikan uang pesangon sebesar satu kali, serta uang pengganti hak. [Baca: Apakah Karyawan Berhak Mendapat Dana Pensiun? ]

6) Seorang pekerja yang ditahan pihak berwajib juga bisa diputuskan hubungan kerjanya. Namun keputusan PHK harus dilakukan berdasarkan keputusan pengadilan yang menetapkan pekerja sebagai pihak yang bersalah dalam sebuah kasus. Bila dinyatakan tidak bersalah, maka perusahaan wajib mempekerjakannya kembali. Bila pekerja dipecat karena menjadi tersangka hukum, maka ia wajib menerima uang penghargaan sebesar satu kali gaji, ditambah uang penggantian hak.

7) Bila pekerja melakukan pelanggaran terhadap peraturan yang telah ditetapkan perusahaan, maka perusahaan bisa melakukan PHK. Namun ini harus disertai catatan, yakni surat peringatan harus dilayangkan terlebih dahulu kepada karyawan bersangkutan. Bila sampai 3 kali surat peringatan masih ditemukan pelanggaran yang sama, maka perusahaan berhak memecat karyawannya. Selain itu, perusahaan memiliki kewajiban untuk memberikan uang pesangon 1 kali sesuai ketentuan. Selain itu, uang pengganti hak serta uang penghargaan juga wajib diberikan.

8) Bila efisiensi perusahaan dilakukan, pemutusan hubungan kerja menjadi salah satu instrument yang tidak bisa dihindari. Karena itu pekerja berhak mendapatkan uang pesangon sebesar 2 kali gaji, uang penggantian hak, dan uang penghargaan masa kerja sebanyak satu kali. Namun pekerja tidak berhak mendapatkan uang perpisahan. Mekanisme ini diatur di dalam pasal 156 ayat 3 dan 4 UU 13/2003.